Subscribe

Selasa, 20 Januari 2009

Israel = Penjahat Perang


Bagaimana tidak? Negara tersebut menjalankan taktik perang yang licik. Tentara Israel menggiring warga sipil khususnya wanita dan anak-anak untuk diungsikan ke tempat yang diyakini aman sebagai tempat perlindungan. 

Setelah mereka yakin bahwa keamanannya akan dijamin, Israel justru menjadikan tempat perlindungan tersebut sebagai ”kuburan massal”. Adanya upaya pelenyapan generasi penerus Palestina sangat kental terasa. 

Karena dengan menghabisi kaum perempuan, sudah dapat dipastikan Palestina akan kesulitan untuk melahirkan keturunan yang nantinya akan menjadi penerus bangsa. Dengan membunuh anak-anak Palestina berarti membunuh bibit-bibit yang akan membela negaranya, karena. tidak ada regenerasi untuk melanjutkan kehidupan bangsa Palestina. 

Tindakan seperti ini adalah suatu kejahatan perang. Dengan dalih apa  pun, perang di depan mata warga dunia telah merenggut jiwa perempuan dan anak-anak yang tak berdosa. 

Sebuah negara tidak akan mampu berdiri kokoh tanpa wanita. Karena wanita adalah sosok yang diciptakan Tuhan untuk mendampingi laki-laki. Sesuai dengan kodratnya, laki-laki akan menjadi khalifah dengan kekuatan yang telah dianugerahkan untuk memimpin. 

Dan wanita adalah tulang rusuk laki-laki, tanpa tulang rusuk tersebut mustahil seorang laki-laki akan mampu menjalankan tugasnya untuk menjadi khalifah. 

Demikian juga dengan sebuah negara yang pastinya membutuhkan seorang pemimpin. Bagaimana akan ada pemimpin jika salah satu daya untuk memimpin telah dilenyapkan, yaitu wanita. Bagaimana akan menjadi sebuah negara yang kokoh jika pemimpinnya saja telah kehilangan separoh dari kekuatannya.

Aksi keji Israel terus digencarkan, bahkan tak tanggung-tanggung menjadikan anak-anak sebagai sasaran perang. Perang pasti menjadi kekerasan setiap hak dari setiap anak. 

Perang selalu merenggut seluruh hak anak - hak untuk hidup, hak hidup bersama keluarga dan masyarakat, hak untuk sehat, hak untuk mengembangkan kepribadian, dan hak untuk dijaga dan dilindungi. Semestinya, anak-anak adalah zona netral. Bukan bagian dari permusuhan dan bukan peserta perang dari pihak-pihak yang bertikai senjata. 

Berbagai instrumen hukum humaniter internasional menjamin anak tidak menjadi sasaran perang dan serangan bersenjata. Setidaknya, Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC) pasal 8 ayat 2b (v) menentukan bahwa kejahatan perang termasuk kejahatan serius penyerangan atau bombardir terhadap desa, kota, atau bangunan yang bukan sasaran militer. 

Jauh pada tahun 1974, Majelis Umum PBB menegaskan The Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict (Res 3318 (XXIX)). 

Deklarasi ini memberikan perlindungan kepada anak dan perempuan. Jadi jelas bahwa anak-anak dan perempuan mendapatkan jaminan perlindungan dari dunia internasional dan tidak menjadikan mereka sebagai sasaran kejahatan perang.

Berbagai pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik menggambarkan duka para korban. Palestina menangis, Palestina merintih. Suara jeritan dan rintihan merasakan sakit secara fisik dan psikis terdengar begitu menyayat hati. Menatap kondisi negara yang tak lagi utuh, berdiri di atas puing-puing yang rapuh.

 Menyaksikan darah-darah yang mengalir membasahi tanah dan mayat-mayat yang tertimbun reruntuhan bangunan akibat kebrutalan Israel. Air mata yang telah kering membekas di pipi mereka karena kehilangan anak, suami serta sanak famili. Bahkan anak-anak Palestina terpaksa harus mengais sisa-sisa air yang tak layak konsumsi demi membasahi tenggorokan. 

Sungguh suatu kondisi yang sangat memilukan. Kondisi tersebut diperparah dengan penutupan akses bantuan dari negara-negara yang akan mengirimkan bantuannya untuk para korban. 

Kondisi itu menggetarkan nurani kita, menyatukan warga masyarakat internasional untuk mengutuk dan mengadili Israel yang telah melakukan kejahatan perang. Apapun itu, perang harus segera diakhiri. Karena perang telah merusak peradaban dan masa depan anak-anak.

sumber: http://suaramerdeka.com

Tidak ada komentar: